Memperkuat Kepemimpinan Perguruan Tinggi Muhammadiyah

Oleh Moh. Mudzakkir, Dosen Sosiologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya, Research Fellow di Pusat Studi Muhammadiyah UMY

Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) telah dirintis sejak pertengahan tahun 1950-an. Meskipun demikian, wacana dan cita-cita untuk mendirikan perguruan tinggi telah muncul sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1920 (Baha’uddin, 2010). Setelah kemerdekaan Indonesia, para pemimpin Muhammadiyah berusaha kembali untuk merealisasikan gagasan tersebut. Dengan semangat dan pertimbangan futuristik, para pemimpin Muhammadiyah akhirnya berhasil merealisasikan wacana tersebut menjadi kenyataan. Yaitu dengan ditandai berdirinya Universitas Muhammadiyah Jakarta sebagai universitas pertama di bawah naungan persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1956. Jadi kalau kita hitung sejak PTM pertama kali berdiri hingga sekarang (1956-2020) sudah 64 tahun Muhammadiyah berkiprah dalam bidang pendidikan tinggi di Republik Indonesa ini.

Perkembangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah

Seiring dengan waktu berjalan, Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (PTMA) terus berkembang secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini kita bisa lihat dari segi jumlah PTMA secara keseluruhan, baik yang berupa universitas, institut, sekolah tinggi, akademi hingga politeknik yang terus berkembang dan bertambah. PTMA yang berbentuk universitas misalnya pada tahun 2000 berjumlah 26 universitas bertambah menjadi 40 universitas pada tahun 2010, kenaikannya mencapai 35% dari jumlah semula. Kemudian, bila kita hitung dalam rentang waktu antara tahun 2000-2020, maka jumlah universitas di lingkungan Muhammadiyah bertambah 60%, dari 26 universitas menjadi 65 universitas. Itu bila kita berbicara PTMA yang berbentuk universitas.

Perkembangan PTMA secara keseluruhan dari tahun 2000 hingga 2020 juga mengalami peningkatan yang pesat. Pada tahun 2000 PTMA berjumlah 102 lembaga kemudian berkembang menjadi 164 lembaga pada tahun 2020 atau mengalami peningkatan 38%. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi tersebut tersebar di berbagai ibu kota provinsi, kota Kabupaten, bahkan ada juga yang berdiri di kota kecamatan. Kalau kita cermati tabel di bawah ini (Tabel 1), kita bisa membaca bahwa selama hampir dua dasawarsa pasca reformasi ini, PTMA mengalami pertumbuhan yang sangat pesat secara kuantitas. Perkembangan ini bukan hanya dari segi jumlah, namun juga dalam hal peningkatan jenis atau bentuk lembaga PTMA. Misalnya transformasi jenis lembaga dari Akademi menjadi Institut atau Sekolah Tinggi, serta dari Sekolah Tinggi (atau merger dengan sekolah tinggi lainnya dan atau dengan Institut) berubah menjadi Universitas.

Tabel 1.

Daftar Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia

No. Tahun Universitas Institut Sekolah Tinggi Akademi Politeknik Jumlah
1. 2000 26 2 42 30 2 102
2. 2005 35 70 54 4 163
3. 2010 40 88 25 4 157
4. 2015 41 2 88 24 5 160
5. 2020 65 13 76 4 6 164

(Sumber; Profil Muhammadiyah 2000, Profil Muhammadiyah 2005, Profil 1 Abad Muhammadiyah 2010, Profil Amal Usaha Muhammadiyah 2015, Direktori Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah 2019, Gambaran Keadaan PTMA 2020)

 

Majelis Diktilitbang dan Penguatan kelembagaan PTM

Secara kelembagaan di lingkungan Muhammadiyah, PTMA berada di bawah pembinaan Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Majelis Pendidikan Tinggi Pimpinan Pusat Aisyiyah. Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dibentuk untuk membantu Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam melakukan pembinaan dan pendampingan perguruan tinggi di bawah naungan Persyarikatan. Majelis ini dibentuk pasca Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 yang diketuai pertama kali oleh Djazman Al Kindi, yang saat itu juga menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Seiring dengan perkembangan waktu, Majelis Diktilitbang memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam upaya pengembangan dan penguatan kelembagaan perguruan tinggi Muhammadiyah. Meski juga tidak bisa dipungkiri peran, inisiatif dan kreativitas pimpinan persyarikatan dan para elit PTM juga sangat vital. Kolaborasi sinergis antara tiga stakeholders itulah yang dalam praktiknya mampu mempercepat pengembangan kualitas PTM. Dan salah satu hasilnya adalah pengakuan eksternal dalam bentuk Akreditasi Institusi yang diberikan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).

Perkembangan kualitas PTM secara kelembagaan bisa kita cermati dari data peringkat Akreditasi Institusi PTM 2020. Dari 164 PTM, kampus yang meraih predikat Akreditasi A atau Unggul berjumlah 6 PTM, yaitu Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Muhammadiyah Prof Dr. Hamka (UHAMKA), dan terakhir ialah Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Tentu ini merupakan pencapaian yang tidak mudah. Pencapaian tersebut merupakan hasil kerja keras kelembagaan yang dibangun bertahun-tahun secara kolektif. Keenam PTM tersebut bisa menjadi exemplary centre bagi PTM lainnya secara institutional. Keenam PTM tersebut  merupakan 3,7% yang meraih Akreditasi A (unggul) dari 164 PTM lainnya. PTMA yang meraih akreditasi B secara kelembagaan sebesar 31,7 % atau 52 kampus Muhammadiyah, 28,0 % atau 46 PTMA yang terakreditasi C, 4,3% terakreditasi Baik atau 7 PTMA, serta 32,3 %, atau 53 PTM yang sedang proses akreditasi (Gambaran Keadaan PTMA 2020). Artinya secara kualitas, masih banyak hal yang harus ditingkatkan oleh PTM, baik yang berada pada kategori Akreditasi B dan C serta kategori yang sedang berproses akreditasi.

Dari enam PTM yang meraih akreditasi institusi A hanya UMSU yang berada di luar pulau Jawa, Sumatera. Lima kampus Muhammadiyah lainnya berasal dari Pulau Jawa. UMSU menjadi kampus Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di luar Jawa kedua yang mendapatkan Akreditasi A setelah Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Pencapaian yang diraih oleh UMSU menurut Muhammad Sayuti (2019), Sekretaris Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, tidak lain merupakan hasil dari sinergi serta kolaborasi antara Majelis Diktilitbang dan UMSU dalam mempersiapkan Akreditasi Institusi, tata kelola universitas yang baik (good university governance) serta didukung oleh kepemimpinan yang progresif di internal PTM. Jelas sekali, bahwa kepemimpinan sangat berpengaruh bagi arah kemajuan bagi PTM sebagai salah satu ujung tombak persyarikatan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan tinggi.

 

Mempersiapkan Kepemimpinan di PTMA

Dalam beberapa kesempatan penulis sering berseloroh, bahwa masa depan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan akan sangat bergantung pada PTMA. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena perguruan tinggi merupakan titik kumpul atau konsentrasi dari berbagai macam sumberdaya, baik itu sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan, dan tentu juga sumberdaya finansial di Muhammadiyah. Dalam konteks sumberdaya manusia, semakin hari kita bisa melihat banyak dosen atau pimpinan PTMA yang juga pegiat persyarikatan.  Bahkan mereka juga banyak menjadi pengerak inti pimpinan di tingkat Ranting, Cabang, Daerah, Wilayah hingga Pusat. Hal yang sama juga dalam hal konsentrasi finansial, bukan rahasia lagi bila PTM juga menjadi salah satu penyokong utama program serta berbagai macam kegiatan di berbagai tingkatan persyarikatan. Dengan SDM yang mumpuni serta didukung kekuatan finansial yang memadai, maka gagasan, kebijakan serta program-program yang inovatif dan kreatif akan banyak muncul, bukan hanya untuk kampus tapi juga berdampak bagi gerakan persyarikatan.

Secara faktual faktor kepemimpinan menjadi salah satu faktor penting bagi kemajuan dan keberlanjutan PTMA sebagai pusat keunggulan gerakan Muhammadiyah. Maka diperlukan perhatian serius untuk membangun sistem kepemimpinan (dan tentu tentunya kaderisasi para pemimpin) di lingkungan kampus-kampus Muhammadiyah. Kepemimpinan di lembaga pendidikan tinggi tentu berbeda dengan bentuk kepemimpinan di lingkungan sekolah atau rumah sakit misalnya. Oleh karena tawaran sistem kepemimpinan yang kontekstual di lingkungan PTMA pun harus dibangun sesuai dengan konteks kebutuhan yang khas (baca; dunia pendidikan tinggi).

Perlu sinergitas antara Majelis Pendidikan Kader dan Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah untuk merumuskan sistem kaderisasi kepemimpinan di PTMA. Tentu kepemimpinan dan kaderisasi di level PTMA bukan hanya soal ke-Islaman dan kemuhammadiyan saja, itu sangat penting tapi belum cukup. Perlu diperkuat dengan materi-materi yang berhubungan dengan isu-isu kepemimpinan, tata kelola dan manajerial Perguruan Tinggi, serta pembangunan kelembagaan PTM di era global. Pengetahuan tersebut harapannya bisa menjadi pengetahuan dan juga keterampilan yang perlu dimiliki oleh siapapun kader atau civitas akademika yang diberi mandat. Sehingga mereka mampu memajukan PTMA sesuai dengan kebutuhan zaman.

Tentu sangat berisiko bila Muhammadiyah memberikan kepemimpinan kepada figur atau sekelompok orang yang tidak kompeten baik dari segi ideologi maupun dari segi wawasan dan keterampilan kepemimpinan perguruan tinggi. Maka para calon pemimpin PTMA bukan hanya memiliki pemahaman ideologis Islam berkemajuan yang mendalam dan handal, tapi juga mampu beradaptasi dan menerjemahkan dalam menggerakkan pendidikan tinggi di era Revolusi Industri 4.0 saat ini. Harapannya, mereka juga mampu berfikir secara global/internasional namun mampu mengkontersktualisasikan di level nasional atau local atau dalam bahasa sederhana, think globally act locally. Dengan begitu mereka mampu menyesuikan dengan kebutuhan dan perubahan pendidikan tinggi, atau bahkan membaca tanda-tanda zaman, namun tetap kokok memegang prinsip ideologi gerakan Muhammadiyah.

Harus diakui, PTMA merupakan bagian penting dari pilar keunggulan gerakan Muhammadiyah yang harus terus berbenah meyesuaikan dengan kemajuan zaman. Sementara itu, PTMA masih menghadapi berbagai problematika di lapangan. Di antaranya berupa belum kukuhnya, (kalau tidak boleh mengatakan masih lemah) tata kelola dan manajemen, kurangnya pemahaman nilai-nilai dasar persyarikatan di kalangan pimpinan PTM, masih belum selarasnya hubungan antara pimpinan PTM dengan pimpinan persyarikatan, serta belum terciptanya budaya organisasi yang baik dan berkelanjutan. Itu beberapa contoh permasalahan yang muncul di lapangan terkait kepemimpinan di PTM.

Melihat sangat pentingnya problem kepemimpinan dan kaderisasi pimpinan di atas, Majelis Diktilitbang pada periode ini menyelenggarakan “Leadership Training Pimpinan PTM” dalam beberapa jenjang (Universitas, Fakultas, Program Studi). Pelatihan Kepemimpinan di PTM ini dilatarbelakangi karena bahwa selama ini kaderisasi pemimpin di PTM yang masih kurang dan belum tepat sasaran. Oleh karena itu perlu disiapkan kader pimpinan PTM yang punya kapasitas dan integritas sebagai bagian dari proses regenerasi dan kaderisasi yang berkelanjutan. Respon Majelis Diktilitbang dalam menjawab tantangan kepemimpinan di PTMA sudah sangat tepat. Dan semoga terus berkelanjutan dan mengalami perkembangan dalam mempersiapkan kepemimpinan PTMA secara sistematik dan terstruktur.

Lebih lanjut, Lincolin Arsyad (2019) mengatakan bahwa Majelis Diktilitbang berupaya secara serius untuk menciptakan pemimpin yang tidak hanya punya kapasitas, tapi juga berkarakter. Para pemimpin PTM diharapkan memiliki 4 karakter seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW yakni jujur, amanah, tabligh (kemampuan berkomunikasi) sebagai soft-skill yang paling utama, dan terakhir adalah fathanah (cerdas dan pintar). Lebih lanjut ia juga menekankan bahwa Pemimpin PTM harus sejalan dengan nilai-nilai ideologis Muhammadiyah. Para pimpinan Perguruan Tinggi harus memiliki kompetensi mumpuni secara keilmuan, kepemimpinan, dan mengikuti perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan beradaptasi dengan dunia kontemporer, khususnya bidang pendidikan tinggi. Serta tidak kalah penting lagi, bahwa mereka mengurus PTMA itu pada dasarnya mengelola asset Persyarikatan dan umat. Para pimpinan harus memiliki keterampilan komunikasi publik dan diplomasi yang baik, daya tahan, serta stamina tinggi tidak cengeng dalam menghadapi masalah. Atau yang populer kita dengar, “jadi kader Muhammadiyah itu tidak mutungan”.

“jadi kader Muhammadiyah itu tidak mutungan”.

Memperkuat kriteria yang harus dimiliki oleh pimpinan PTMA di atas, Haedar Nashir (2019) selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah juga tidak bosan-bosan mengingatkan, bahwa para pimpinan harus menjadi teladan dalam laku cinta ilmu pengetahuan. Pimpinan Perguruan Tinggi harus senang membaca, senang berdialog, gandrung terhadap ilmu pengetahuan. Jangan pernah lelah dan berhenti belajar. Perguruan Tinggi adalah pencipta peradaban. Maka bagaimana bisa mencipta peradaban jika pimpinannya tidak cinta ilmu pengetahuan. Pesan ini bukan hanya pernah ditulis, tapi juga disampakan dalam berbagai pidato Ketum PP Muhammadiyah tersebut dalam berbagai kesempatan ketika menghadiri acara di kampus-kampus Muhammadiyah.

 

Penutup

Akhirnya perkembangan PTMA yang pesat, baik secara kuantitas dan kualitas, harus ditopang dengan kepemimpinan yang berkemajuan dan berkelanjutan. Peran dan fungsi PTM sebagai tempat konsentrasi sumberdaya bisa menjadi berkah tapi juga ujian bagi persyarikatan bila tidak diantisipasi secara kelembagaan. Salah satu upaya antisipatif tersebut adalah dengan membangun pendidikan kepemimpinan di PTMA secara bertahap, berjenjang dan berkelanjutan. Kebijakan dan program tersebut dibangun dengan tujuan mempersiapkan para calon pemimpin PTMA yang berintegritas dan kompeten sesuai dengan visi dan misi persyarikatan.

Penguatan kepemimpinan PTMA melalui “Leadership Training Pimpinan PTMA” yang telah dirintis oleh Majelis Diktilitbang perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan. Melalui program tersebut harapannya dapat mempersiapkan regenerasi dan kaderisasi bagi para calon pemimpin progresif transformatif di lingkungan PTMA. Semoga upaya tersebut mampu menjawab tantangan PTMA di masa depan. Semoga.