Belajar Demokrasi Dari Muhammadiyah: Refleksi Dinamika Kepemimpinan di Muktamar

(Sumber: PWMU.CO)

Oleh: Moch Edward Trias Pahlevi (Peneliti Pusat Studi muhammadiyah)

Masyarakat awam ketika mendengar kata Muhammadiyah yang terbesit dipikiran masyarakat awam biasanya tentang sekolah dan kampus yang bertebaran di penjuru pelosok negeri. Muhammadiyah saat ini bisa dikatakan sebagai organisasi yang memiliki kontribusi sangat besar dalam memberikan kemajuan negara, sudah banyak anak bangsa di negeri ini yang merasakan manfaat dari kehadiran Muhammadiyah seperti menikmati sekolah-sekolah Muhammadiyah ataupun fasilitas kesehatan yang dimiliki Muhammadiyah. Selain pendidikan Muhammadiyah juga hadir dalam pemberdayaan masyarakat.

 

Kehadiran Muhammadiyah dalam kancah Internasional juga menarik perhatian semua kalangan masyarakat di Indonesia, dari mulai mendirikan sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah di luar negeri hingga kehadiran Muhammadiyah dalam misi kemanusiaan pada konflik di Palestina, Myanmar , dan Thailand selatan

 

Namun, dibalik visi dan misinya yang berfokus pada pendidikan, kesejahteraan sosial, dan spiritualitas, terdapat aspek demokratis yang kuat yang dapat dijadikan inspirasi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta dapat menjadi contoh teladan dalam proses kepemimpinan

 

Belajar Demokrasi Dari Muktamar Muhammadiyah

 

Opini ini berangkat dari pengalaman penulis sebagai panitia muktamar Muhammadiyah ke 48 pertama kalinya. Saya merasa kagum dengan apa yang diperlihatkan organisasi Muhammadiyah dalam proses memilih kepemimpinan. Muncul dibenak pikiran saya apakah cara proses pemilihan yang dilakukan Muhammadiyah dapat dilakukan pada proses pemilihan di negara Indonesia. Tidak bisa dipungkiri proses pemilihan kepemimpinan yang dilakukan oleh Muhammadiyah telah berhasil secara mulus dan tidak menghasilkan sebuah polarisasi dan juga praktik-praktik jual beli suara. Refleksi perjalanan pemilu Indonesia terlalu berdarah-darah, brutal, kadang narasi memecah belah, dan marak praktik jual beli suara, dan sistem yang digunakan lebih condong kepada Amerika. Dengan bangga bahwa produk Amerika lebih baik padahal negara ini tidak siap untuk menirunya.

 

 

Proses pemilihan pimpinan Muhammadiyah dilakukan secara berjenjang dengan istilah yang disebut tanwir. Dalam proses ini dilakukan secara transparan dan mengupas persoalan-persoalan isu-isu yang harus diimplementasikan nantinya kepada pimpinan yang terpilih. Dengan proses yang transparan ini sangat sulit kemungkinan adanya intervensi dari pihak luar, adanya kampanye terselubung,  bahkan istilah serangan fajar pun sulit untuk terjadi. Sistem ini membawa sebuah proses kepemimpinan dengan nuansa musyawarah dan sebagai ajang silahturahim.

 

Sesekali saya memperhatikan raut wajah para penggembira yang hadir dan menanyainya tentang masa depan Muhammadiyah, mereka sangat yakin dan percaya terhadap apapun hasil yang diputuskan Muktamamar Muhammadiyah merupakan hasil kepemimpinan yang baik. Wajah raut gembira itu sangat terlihat pada pengembira Muktamar Muhammadiyah.

 

Proses pemilihan dilakukan dengan cara berjenjang dengan cara Pengurus Pimpinan Muhammadiyah Wilayah  mengusulkan 13 nama calon pimpinan pusat Muhammadiyah, dan pada saat itu terkumpul menjadi 200 nama. Kemudian diseleksi menjadi 96 calon pimpinan pusat Muhammadiyah, selanjutnya dibawa ke Sidang Tanwir.  Pada sidang Tanwir inilah nama menjadi 39 nama yang ini akan dibawa pada pemilih arena Muktamar untuk menjadi 13 nama yang akan menjadi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mengapa angka 13 menjadi pilihan ? Saya selaku panitia dan juga peneliti Pusat Studi Muhammadiyah tidak mengetahui persisnya angka 13 ini menjadi angka kramat pada muktamar Muhammadiyah.

 

Menariknya dalam proses pemilihan dari 39 nama menuju ke 13 dilakukan pemilihan mengunakan E-Voting(Pemilihan elektronik) dan semua muktamirin tertib dalam memberikan suaranya, tidak ada kerusuhan, tidak ada huru hara atau bahkan umpatan yang muncul didalam proses tersebut. Budaya tertib administrasi dan tertib organisasi sungguh terlihat maka tidak heran Muhammadiyah terkenal dengan disiplinya organisasi.

 

Suara terbanyak tidak menjamin akan terpilih menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Keputusan terpilihnya ketua umum dilakukan dengan musyawarah oleh 13 Nama terpilih pada sidang Muktamar tersebut. Hal ini sangat sulit terjadinya intervensi atau bahkan transaksi mengunakan uang dalam proses terpilihanya menjadi Ketua Umum.

 

Terlihat bahwa sistem demokrasi di Muhammadiyah memang bukan demokrasi yang hanya mempertimbangkan suara. Peraih suara terbanyak dalam pemilihan belum tentu menjadi ketua umum PP Muhammadiyah. Di Muhammadiyah etos kepemimpinan adalah etos pengabdian.

 

Wajah demokrasi Muhammadiyah telah tersingkap pada muktamar ke-48 yang baru-baru ini berlangsung. Demokrasi dalam Muhammadiyah ditandai dengan kebahagiaan yang melimpah. Tidak ada unsur tim sukses, kampanye, atau serangan fajar yang terlihat.

Apa yang terlihat hanyalah wajah ceria para peserta muktamar, mulai dari Sabang hingga Merauke. Mereka hadir dengan semangat juang, secara sukarela, dan dengan semangat yang menggembirakan dalam penyebaran dakwah Muhammadiyah. Di dalam muktamar yang baru berakhir ini, tidak ada kekerasan fisik, tidak ada kerusuhan.

Semuanya berjalan dengan damai dan tertib. Penggunaan sistem pemilihan melalui e-voting juga tidak mengubah esensi dan karakter demokrasi di Muhammadiyah. Semua proses berjalan dengan lancar dan aman.

 

Kepemimpinan Kolektif Kolegial Muhammadiyah

 

Di Muhammadiyah, konsep kepemimpinan kolektif menjadi salah satu prinsip utama yang dijunjung tinggi. Ini tercermin dalam struktur organisasi dan proses pengambilan keputusan internal. Kepemimpinan kolektif di Muhammadiyah menekankan pentingnya musyawarah, konsensus, dan partisipasi aktif dari berbagai pihak dalam mengambil keputusan.

 

Maka dibalik kebesaran sebuah organisasi seringkali terletak filosofi dan prinsip yang menjadi pondasinya. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar dan terpengaruh di Indonesia, bukan hanya dikenal karena visi dan misinya yang kuat, tetapi juga karena pendekatan uniknya terhadap kepemimpinan. Di Muhammadiyah, kepemimpinan bukanlah monopoli segelintir individu, melainkan sebuah konsep yang mendasarkan pada kekuatan kolektif, musyawarah, dan konsensus.

 

Dalam kepemimpinan kolektif Muhammadiyah, setiap keputusan penting diambil melalui proses musyawarah. Musyawarah menjadi wadah bagi para pemimpin, pengurus, dan anggota organisasi untuk menyampaikan pendapat, membagikan ide, dan mencari solusi terbaik untuk masalah yang dihadapi. Proses musyawarah ini terlihat misalnya pada proses muktamar Muhammadiyah. Dimana keterpilihan pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah dilakukan dengan proses musywarah yang ketat dan strategis tidak diukur hanya sekedar kuantitatif suara.

 

Musyawarah menjadi salah satu landasan utama dalam konsep kepemimpinan di Muhammadiyah. Dalam musyawarah, setiap individu memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapat, ide, dan aspirasi mereka. Ini menciptakan ruang yang inklusif dan memperkuat rasa memiliki terhadap keputusan yang diambil. Dari musyawarah, timbul pemahaman yang lebih dalam tentang berbagai persoalan dan solusi yang dihadapi, karena melibatkan beragam perspektif dan pengalaman.

 

Meskipun setiap individu memiliki kebebasan untuk berpendapat, tujuan akhir dari musyawarah di Muhammadiyah adalah mencapai konsensus. Konsensus merupakan hasil dari proses musyawarah yang mendalam, di mana seluruh pihak berusaha mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua. Ini menunjukkan komitmen Muhammadiyah untuk menciptakan keputusan yang mencerminkan kepentingan bersama dan dapat diterima oleh seluruh anggota organisasi.